by..
Anggapan bahwa pendidikan baru bisa dimulai setelah usia sekolah dasar yaitu usia tujuh tahun ternyata tidaklah benar. Bahkan pendidikan yang dimulai pada usia TK (4 - 6 tahun) pun sebenarnya sudah terlambat. Hasil penelitian di bidang neurologi yang dilakukan Benyamin S. Bloom, seorang ahli pendidikan dari Universitas Chicago, Amerika Serikat (Diktentis, 2003: 1), mengemukakan bahwa pertumbuhan sel jaringan otak pada anak usia 0 - 4 tahun mencapai 50%, hingga usia 8 tahun mencapai 80%. Artinya bila pada usia tersebut otak anak tidak mendapatkan rangsangan yang maksimal maka otak anak tidak akan berkembang secara optimal. Pada dasawarsa kedua yaitu usia 18 tahun perkembangan jaringan otak telah mencapai 100%. Oleh sebab itu masa kanak-kanak dari usia 0 - 8 tahun disebut masa emas (Golden Age) yang hanya terjadi satu kali dalam perkembangan kehidupan manusia sehingga sangatlah penting untuk merangsang pertumbuhan otak anak dengan memberikan perhatian terhadap kesehatan anak, penyediaan gizi yang cukup, dan pelayanan pendidikan.
Data memperlihatkan bahwa layanan pendidikan anak usia dini di Indonesia masih termasuk sangat memprihatinkan. Sampai dengan tahun 2001 (Jalal, 2003: 20) jumlah anak usia 0 - 6 tahun di Indonesia yang telah mendapatkan layanan pendidikan baru sekitar 28% (7.347.240 anak). Khusus untuk anak usia 4 - 6 tahun, masih terdapat sekitar 10,2 juta (83,8%) yang belum mendapatkan layanan pendidikan. Masih banyaknya jumlah anak usia dini yang belum mendapatkan layanan pendidikan tersebut disebabkan terbatasnya jumlah lembaga yang memberikan layanan pendidikan bagi anak usia dini.
Layanan pendidikan kepada anak-anak usia dini merupakan dasar yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak selanjutnya hingga dewasa. Hal ini diperkuat oleh Hurlock (1991: 27) bahwa tahun-tahun awal kehidupan anak merupakan dasar yang cenderung bertahan dan mempengaruhi sikap dan perilaku anak sepanjang hidupnya.
Kreativitas merupakan salah satu potensi yang dimiliki anak yang perlu dikembangkan sejak usia dini. Setiap anak memiliki bakat kreatif dan ditinjau dari segi pendidikan, bakat kreatif dapat dikembangkan dan karena itu perlu dipupuk sejak dini. Bila bakat kreatif anak tidak dipupuk maka bakat tersebut tidak akan berkembang, bahkan menjadi bakat yang terpendam yang tidak dapat diwujudkan.
Melalui proses pembelajaran dengan kegiatan yang menyenangkan bagi anak-anak yaitu melalui bermain, diharapkan dapat merangsang dan memupuk kreativitas anak sesuai dengan potensi yang dimilikinya untuk pengembangan diri sejak usia dini. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Mulyasa (2005: 164) bahwa: “Proses pembelajaran pada hakekatnya untuk mengembangkan aktivitas dan kreativitas peserta didik, melalui berbagai interaksi dan pengalaman belajar”.
Dalam proses pembelajaran di kelompok bermain, kreativitas anak dirangsang dan dieksplorasi melalui kegiatan bermain sambil belajar sebab bermain merupakan sifat alami anak. Diungkapkan oleh Munandar (2004: 94) bahwa penelitian menunjukkan hubungan yang erat antara sikap bermain dan kreativitas. Namun, jelas Froebel (Patmonodewo, 2003: 7), bermain tanpa bimbingan dan arahan serta perencanaan lingkungan di mana anak belajar akan membawa anak pada cara belajar yang salah atau proses belajar tidak akan terjadi. Ia mengisyaratkan bahwa dalam proses pembelajaran, pendidik bertanggung jawab dalam membimbing dan mengarahkan anak agar menjadi kreatif.
Anggapan bahwa pendidikan baru bisa dimulai setelah usia sekolah dasar yaitu usia tujuh tahun ternyata tidaklah benar. Bahkan pendidikan yang dimulai pada usia TK (4 - 6 tahun) pun sebenarnya sudah terlambat. Hasil penelitian di bidang neurologi yang dilakukan Benyamin S. Bloom, seorang ahli pendidikan dari Universitas Chicago, Amerika Serikat (Diktentis, 2003: 1), mengemukakan bahwa pertumbuhan sel jaringan otak pada anak usia 0 - 4 tahun mencapai 50%, hingga usia 8 tahun mencapai 80%. Artinya bila pada usia tersebut otak anak tidak mendapatkan rangsangan yang maksimal maka otak anak tidak akan berkembang secara optimal. Pada dasawarsa kedua yaitu usia 18 tahun perkembangan jaringan otak telah mencapai 100%. Oleh sebab itu masa kanak-kanak dari usia 0 - 8 tahun disebut masa emas (Golden Age) yang hanya terjadi satu kali dalam perkembangan kehidupan manusia sehingga sangatlah penting untuk merangsang pertumbuhan otak anak dengan memberikan perhatian terhadap kesehatan anak, penyediaan gizi yang cukup, dan pelayanan pendidikan.
Data memperlihatkan bahwa layanan pendidikan anak usia dini di Indonesia masih termasuk sangat memprihatinkan. Sampai dengan tahun 2001 (Jalal, 2003: 20) jumlah anak usia 0 - 6 tahun di Indonesia yang telah mendapatkan layanan pendidikan baru sekitar 28% (7.347.240 anak). Khusus untuk anak usia 4 - 6 tahun, masih terdapat sekitar 10,2 juta (83,8%) yang belum mendapatkan layanan pendidikan. Masih banyaknya jumlah anak usia dini yang belum mendapatkan layanan pendidikan tersebut disebabkan terbatasnya jumlah lembaga yang memberikan layanan pendidikan bagi anak usia dini.
Layanan pendidikan kepada anak-anak usia dini merupakan dasar yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak selanjutnya hingga dewasa. Hal ini diperkuat oleh Hurlock (1991: 27) bahwa tahun-tahun awal kehidupan anak merupakan dasar yang cenderung bertahan dan mempengaruhi sikap dan perilaku anak sepanjang hidupnya.
Kreativitas merupakan salah satu potensi yang dimiliki anak yang perlu dikembangkan sejak usia dini. Setiap anak memiliki bakat kreatif dan ditinjau dari segi pendidikan, bakat kreatif dapat dikembangkan dan karena itu perlu dipupuk sejak dini. Bila bakat kreatif anak tidak dipupuk maka bakat tersebut tidak akan berkembang, bahkan menjadi bakat yang terpendam yang tidak dapat diwujudkan.
Melalui proses pembelajaran dengan kegiatan yang menyenangkan bagi anak-anak yaitu melalui bermain, diharapkan dapat merangsang dan memupuk kreativitas anak sesuai dengan potensi yang dimilikinya untuk pengembangan diri sejak usia dini. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Mulyasa (2005: 164) bahwa: “Proses pembelajaran pada hakekatnya untuk mengembangkan aktivitas dan kreativitas peserta didik, melalui berbagai interaksi dan pengalaman belajar”.
Dalam proses pembelajaran di kelompok bermain, kreativitas anak dirangsang dan dieksplorasi melalui kegiatan bermain sambil belajar sebab bermain merupakan sifat alami anak. Diungkapkan oleh Munandar (2004: 94) bahwa penelitian menunjukkan hubungan yang erat antara sikap bermain dan kreativitas. Namun, jelas Froebel (Patmonodewo, 2003: 7), bermain tanpa bimbingan dan arahan serta perencanaan lingkungan di mana anak belajar akan membawa anak pada cara belajar yang salah atau proses belajar tidak akan terjadi. Ia mengisyaratkan bahwa dalam proses pembelajaran, pendidik bertanggung jawab dalam membimbing dan mengarahkan anak agar menjadi kreatif.
1. Pembelajaran Bagi Anak Usia Dini
Berdasarkan definisi Konsensus Knowles dalam Mappa (1994: 12) pembelajaran merupakan suatu proses di dalam mana perilaku diubah, dibenarkan atau dikendalikan. Sementara itu Abdulhak (2000: 25) menjelaskan bahwa proses pembelajaran adalah interaksi edukatif antara peserta didik dengan komponen-komponen pembelajaran lainnya. Pembelajaran di kelompok bermain jelas sangat berbeda dengan di sekolah, dimana pembelajaran dilakukan dalam suasana bermain yang menyenangkan.
Anak-anak usia dini dapat saja diberikan materi pelajaran, diajari membaca, menulis, dan berhitung. Bahkan bukan hanya itu saja, mereka bisa saja diajari tentang sejarah, geografi, dan lain-lainnya. Jerome Bruner menyatakan, setiap materi dapat diajarkan kepada setiap kelompok umur dengan cara-cara yang sesuai dengan perkembangannya. Kuncinya adalah pada permainan atau bermain (Supriadi, 2002: 40). Permainan atau bermain adalah kata kunci pada pendidikan anak usia dini. Ia sebagai media sekaligus sebagai substansi pendidikan itu sendiri. Dunia anak adalah dunia bermain, dan belajar dilakukan dengan atau sambil bermain yang melibatkan semua indra anak.
Supriadi (2002: 40) menjelaskan bahwa Bruner dan Donalson dari telaahnya menemukan bahwa sebagian pembelajaran terpenting dalam kehidupan diperoleh dari masa kanak-kanak yang paling awal, dan pembelajaran itu sebagian besar diperoleh dari bermain. Bermain bagi anak adalah kegiatan yang serius tetapi menyenangkan. Menurut Conny R. Semiawan (Jalal, 2002: 16) melalui bermain, semua aspek perkembangan anak dapat ditingkatkan. Dengan bermain secara bebas anak dapat berekspresi dan bereksplorasi untuk memperkuat hal-hal yang sudah diketahui dan menemukan hal-hal baru. Melalui permainan, anak-anak juga dapat mengembangkan semua potensinya secara optimal, baik potensi fisik maupun mental intelektual dan spiritual. Oleh karena itu, bermain bagi anak usia dini merupakan jembatan bagi berkembangnya semua aspek.
2. Konsep Kreativitas
Supriadi (2001: 7) menyimpulkan bahwa pada intinya kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata, yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya.
Keberhasilan kreativitas menurut Amabile (Munandar, 2004: 77) adalah persimpangan (intersection) antara keterampilan anak dalam bidang tertentu (domain skills), keterampilan berpikir dan bekerja kreatif, dan motivasi intrinsik. Persimpangan kreativitas tersebut - yang disebut dengan teori persimpangan kreativitas (creativity intersection)
Ciri-ciri kreativitas dapat ditinjau dari dua aspek yaitu:
a. Aspek Kognitif. Ciri-ciri kreativitas yang berhubungan dengan kemampuan berpikir kreatif//divergen (ciri-ciri aptitude) yaitu: 1) keterampilan berpikir lancar (fluency); (2) keterampilan berpikir luwes/fleksibel (flexibility); (3) keterampilan berpikir orisinal (originality); (4) keterampilan memperinci (elaboration); dan (5) keterampilan menilai (evaluation). Makin kreatif seseorang, ciri-ciri tersebut makin dimiliki. (Williams dalam Munandar, 1999: 88)
b. Aspek Afektif. Ciri-ciri kreativitas yang lebih berkaitan dengan sikap dan perasaan seseorang (ciri-ciri non-aptitude) yaitu: (a) rasa ingin tahu; (b) bersifat imajinatif/fantasi; (c) merasa tertantang oleh kemajemukan; (d) sifat berani mengambil resiko; (e) sifat menghargai; (f) percaya diri; (g) keterbukaan terhadap pengalaman baru; dan (h) menonjol dalam salah satu bidang seni (Williams & Munandar, 1999).
Torrance dalam Supriadi (Adhipura, 2001: 47) mengemukakan tentang lima bentuk interaksi guru dan siswa di kelas yang dianggap mampu mengembangkan kecakapan kreatif siswa, yaitu: (1) menghormati pertanyaan yang tidak biasa; (2) menghormati gagasan yang tidak biasa serta imajinatif dari siswa; (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar atas prakarsa sendiri; (4) memberi penghargaan kepada siswa; dan (5) meluangkan waktu bagi siswa untuk belajar dan bersibuk diri tanpa suasana penilaian.
Hurlock pun (1999: 11) mengemukakan beberapa faktor pendorong yang dapat meningkatkan kreativitas, yaitu: (1) waktu, (2) kesempatan menyendiri, (3) dorongan, (4) sarana, (5) lingkungan yang merangsang, (6) hubungan anak-orangtua yang tidak posesif, (7) cara mendidik anak, (8) kesempatan untuk memperoleh pengetahuan.
Amabile (Munandar, 2004: 223) mengemukakan empat cara yang dapat mematikan kreativitas yaitu evaluasi, hadiah, persaingan/kompetisi antara anak, dan lingkungan yang membatasi. Sementara menurut Torrance dalam Arieti yaitu: (1) usaha terlalu dini untuk mengeliminasi fantasi; (2) pembatasan terhadap rasa ingin tahu anak; (3) terlalu menekankan peran berdasarkan perbedaan seksual; (4) terlalu banyak melarang; (5) takut dan malu; (6) penekanan yang salah kaprah terhadap keterampilan verbal tertentu; dan (7) memberikan kritik yang bersifat destruktif (Adhipura, 2001: 46).
Berdasarkan definisi Konsensus Knowles dalam Mappa (1994: 12) pembelajaran merupakan suatu proses di dalam mana perilaku diubah, dibenarkan atau dikendalikan. Sementara itu Abdulhak (2000: 25) menjelaskan bahwa proses pembelajaran adalah interaksi edukatif antara peserta didik dengan komponen-komponen pembelajaran lainnya. Pembelajaran di kelompok bermain jelas sangat berbeda dengan di sekolah, dimana pembelajaran dilakukan dalam suasana bermain yang menyenangkan.
Anak-anak usia dini dapat saja diberikan materi pelajaran, diajari membaca, menulis, dan berhitung. Bahkan bukan hanya itu saja, mereka bisa saja diajari tentang sejarah, geografi, dan lain-lainnya. Jerome Bruner menyatakan, setiap materi dapat diajarkan kepada setiap kelompok umur dengan cara-cara yang sesuai dengan perkembangannya. Kuncinya adalah pada permainan atau bermain (Supriadi, 2002: 40). Permainan atau bermain adalah kata kunci pada pendidikan anak usia dini. Ia sebagai media sekaligus sebagai substansi pendidikan itu sendiri. Dunia anak adalah dunia bermain, dan belajar dilakukan dengan atau sambil bermain yang melibatkan semua indra anak.
Supriadi (2002: 40) menjelaskan bahwa Bruner dan Donalson dari telaahnya menemukan bahwa sebagian pembelajaran terpenting dalam kehidupan diperoleh dari masa kanak-kanak yang paling awal, dan pembelajaran itu sebagian besar diperoleh dari bermain. Bermain bagi anak adalah kegiatan yang serius tetapi menyenangkan. Menurut Conny R. Semiawan (Jalal, 2002: 16) melalui bermain, semua aspek perkembangan anak dapat ditingkatkan. Dengan bermain secara bebas anak dapat berekspresi dan bereksplorasi untuk memperkuat hal-hal yang sudah diketahui dan menemukan hal-hal baru. Melalui permainan, anak-anak juga dapat mengembangkan semua potensinya secara optimal, baik potensi fisik maupun mental intelektual dan spiritual. Oleh karena itu, bermain bagi anak usia dini merupakan jembatan bagi berkembangnya semua aspek.
2. Konsep Kreativitas
Supriadi (2001: 7) menyimpulkan bahwa pada intinya kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata, yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya.
Keberhasilan kreativitas menurut Amabile (Munandar, 2004: 77) adalah persimpangan (intersection) antara keterampilan anak dalam bidang tertentu (domain skills), keterampilan berpikir dan bekerja kreatif, dan motivasi intrinsik. Persimpangan kreativitas tersebut - yang disebut dengan teori persimpangan kreativitas (creativity intersection)
Ciri-ciri kreativitas dapat ditinjau dari dua aspek yaitu:
a. Aspek Kognitif. Ciri-ciri kreativitas yang berhubungan dengan kemampuan berpikir kreatif//divergen (ciri-ciri aptitude) yaitu: 1) keterampilan berpikir lancar (fluency); (2) keterampilan berpikir luwes/fleksibel (flexibility); (3) keterampilan berpikir orisinal (originality); (4) keterampilan memperinci (elaboration); dan (5) keterampilan menilai (evaluation). Makin kreatif seseorang, ciri-ciri tersebut makin dimiliki. (Williams dalam Munandar, 1999: 88)
b. Aspek Afektif. Ciri-ciri kreativitas yang lebih berkaitan dengan sikap dan perasaan seseorang (ciri-ciri non-aptitude) yaitu: (a) rasa ingin tahu; (b) bersifat imajinatif/fantasi; (c) merasa tertantang oleh kemajemukan; (d) sifat berani mengambil resiko; (e) sifat menghargai; (f) percaya diri; (g) keterbukaan terhadap pengalaman baru; dan (h) menonjol dalam salah satu bidang seni (Williams & Munandar, 1999).
Torrance dalam Supriadi (Adhipura, 2001: 47) mengemukakan tentang lima bentuk interaksi guru dan siswa di kelas yang dianggap mampu mengembangkan kecakapan kreatif siswa, yaitu: (1) menghormati pertanyaan yang tidak biasa; (2) menghormati gagasan yang tidak biasa serta imajinatif dari siswa; (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar atas prakarsa sendiri; (4) memberi penghargaan kepada siswa; dan (5) meluangkan waktu bagi siswa untuk belajar dan bersibuk diri tanpa suasana penilaian.
Hurlock pun (1999: 11) mengemukakan beberapa faktor pendorong yang dapat meningkatkan kreativitas, yaitu: (1) waktu, (2) kesempatan menyendiri, (3) dorongan, (4) sarana, (5) lingkungan yang merangsang, (6) hubungan anak-orangtua yang tidak posesif, (7) cara mendidik anak, (8) kesempatan untuk memperoleh pengetahuan.
Amabile (Munandar, 2004: 223) mengemukakan empat cara yang dapat mematikan kreativitas yaitu evaluasi, hadiah, persaingan/kompetisi antara anak, dan lingkungan yang membatasi. Sementara menurut Torrance dalam Arieti yaitu: (1) usaha terlalu dini untuk mengeliminasi fantasi; (2) pembatasan terhadap rasa ingin tahu anak; (3) terlalu menekankan peran berdasarkan perbedaan seksual; (4) terlalu banyak melarang; (5) takut dan malu; (6) penekanan yang salah kaprah terhadap keterampilan verbal tertentu; dan (7) memberikan kritik yang bersifat destruktif (Adhipura, 2001: 46).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar